Senin, 18 Maret 2013

KULINER DEPOK









Tiktok van Depok ini.  Tapi saya baru tergerak untuk berhenti dan mencicipi hidangan ini setelah ada liputan di Kompas minggu beberapa waktu yang lalu.
Sejak awal, saya sudah berkali-kali melirik ke warung ini.  Yang unik dari warung ini adalah promosi bahwa makanan yang disajikan berbahan dasar hewan yang tidak pernah kita temukan sebelumnya.  Ini karena sang empunya restoran lah yang melakukan penyilangan Itik dan Entok.   Ia menyebut hewan baru ini Tiktok
Ketika saya mendatangi kedai ini, pengunjungnya cukup banyak.  Ada seorang ibu yang makan sendiri, dan kemudian memesan beberapa bungkus tiktok goreng dan panggang.  Di sudut yang lain, ada beberapa keluarga bersama anaknya tengah menikmati sup tiktok.  Pelayan kedai ini berlalu lalang sibuk melayani pembeli yang tak kunjung berhenti.
Saya sebetulnya ingin mencoba sup dan tongsengnya.  Konon enak.  Tapi sayang seribu sayang, ternyata sudah habis.    Akhirnya saya memesan tiktok goreng dengan nasi putih.
Rasanya memang seperti yang dijanjikan.  Ia bertekstur seperti ayam, dan juga memiliki rasa yang serupa dengan ayam.  Namun potongannya lebih besar dari ayam.  Kulitnya pun lebih tebal, lebih berminyak daripada ayam.
Tapi rasanya beda dengan bebek.  Liat daging khas bebek tidak kita temukan disini.  ‘Aroma’ khas dari daging bebek juga tidak kita temukan disini.
Sambil menikmati daging tiktok tersebut saya melihat keliling saya.  Usaha seperti ini lah yang kita butuhkan saat ekonomi global terpuruk.  Ekonomi yang asli Indonesia.  Mulai dari bahan baku, hingga pemasaran pun di lakukan di Indonesia.  Saya pernah mengajak orang untuk makan di warung untuk memajukan ekonomi Indonesia.  Kini, saatnya kita untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah seperti ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar